Sejak pasar saham ada, selalu saja ada periode dengan volatilitas
tinggi dan alasan untuk tidak berinvestasi. Kekhawatiran akan terjadinya
resesi ekonomi, skandal korporasi, perang, krisis kredit dan perumahan
serta berbagai hambatan ekonomi lainnya dapat mempersulit investor untuk
tetap yakin dan fokus pada tujuan investasi jangka panjangnya. Meski
demikian, adalah sangat penting untuk tetap berinvestasi dan mengkaji
investasi anda secara sistematis.
Pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah “Seberapa
besar imbal hasil yang bisa saya dapatkan dengan berinvestasi di pasar
saham dan apakah investasi tersebut layak?” Jika menilik data pasar
saham Indonesia, IHSG terbentuk pada tanggal 10 Agustus 1982, hampir 20
tahun yang lalu. Lebih lanjut, sejak 30 Desember 1983 sampai 3 Desember
2011, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 4.363,90% atau setara dengan
14,52% per tahun. Banyak investor yang mengharapkan imbal hasil sebesar
ini per tahunnya, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa pasar saham
adalah pasar yang sarat akan volatilitas dan rentang imbal hasil yang
lebar.
Dengan volatilitas dan ketidakpastian pasar saham, mengapa investor masih mau berinvestasi di pasar saham? Dibandingkan asset class
lainnya seperti efek pasar uang (tabungan, deposito berjangka) dan
obligasi, saham memiliki kinerja yang terunggul. Bagi banyak orang,
saham merupakan bagian dari rencana investasi jangka panjang guna
memenuhi tujuan investasinya. Setiap kali dana mengendap di tabungan
atau instrumen investasi dengan tingkat imbal hasil yang rendah, maka
dana tersebut dapat dikatakan berkurang setiap harinya. Jika dana
tersebut tidak bertumbuh sama dengan atau lebih tinggi dari tingkat
inflasi, maka dana tersebut akan tergerus inflasi.
Alasan lain untuk tetap optimis dan berinvestasi adalah bahwa bear market secara historis berlangsung relatif singkat, sementara bull market biasanya diawali dengan lonjakan tajam dan berlangsung cukup lama. After all,
yang dinamakan krisis itu pasti tidak berlangsung lama; karena kalau
lama maka bukan krisis lagi namanya. Krisis selalu diiringi dengan
urgensi untuk memperbaiki keadaan karena tidak ada seorangpun di dunia
ini yang senang mengalami krisis; semua tentu ingin kembali ke kondisi
normal, keluar dari keterpurukan.
Tabel di bawah ini mencantumkan imbal hasil IHSG setiap bulan
sejak Januari 1997 sampai Februari 2012. Jika kita perhatikan, tampak
bahwa selama kurun waktu kurang lebih 15 tahun periode dengan imbal
hasil negatif berlangsung lebih singkat dari periode dengan imbal hasil
positif. Selain itu jumlah periode dengan imbal hasil positif juga lebih
banyak daripada periode dengan imbal hasil negatif: 109 vs. 73. Bahkan
jika kita amati secara tahunan, ternyata hanya ada 5 tahun yang
membukukan imbal hasil negatif, sementara 10 tahun lainnya positif. Jadi
sebenarnya investor punya cukup waktu untuk menutupi kerugiannya di bear market dan bahkan membukukan laba selama bull market!
Tabel 1: Kinerja IHSG 1997-2012
Sumber: Bloomberg
Kinerja pasar saham tentunya akan terefleksikan dalam kinerja
reksa dana saham. Mari kita lihat kinerja historis reksa dana saham
kelolaan First State Investments Indonesia berikut ini:
Dari tabel di atas terlihat bahwa semakin panjang horison
investasinya, makin besar imbal hasil yang bisa diraih oleh investor.
Sebagai contoh, jika seorang investor berinvestasi di reksa dana FSI
Sectoral Fund maka jika ia berinvestasi selama setahun maka ia
memperoleh imbal hasil 17,01%; sedangkan jika ia berinvestasi selama 5
tahun maka imbal hasil yang diperolehnya adalah sebesar 18,30% dan jika
ia berinvestasi sejak reksa dana ini diluncurkan pada tahun 2005 maka
imbal hasilnya adalah 23,28% per tahun.
Lebih lanjut penulis mencoba menganalisa volatilitas
masing-masing reksa dana untuk periode 1, 3 dan 5 tahun, sebagaimana
diukur lewat standar deviasi. Dalam ilmu statistik standard deviasi
menyatakan seberapa besar dispersi atau penyebaran suatu kumpulan data
dari nilai rata-ratanya. Semakin besar standar deviasi berarti semakin
lebar penyebaran datanya. Jadi untuk reksa dana dengan imbal hasil
rata-rata sebesar x% dan standar deviasi sebesar y% selama 1 tahun,
berarti selama periode 1 tahun tersebut imbal hasil reksa dana
bervariasi dari (x-y)% sampai (x+y)%.
Pada teorinya, semakin panjang periode investasi maka semakin
kecil standar deviasinya, namun jika menilik data di bawah ini, ternyata
yang terjadi justru sebaliknya! Mengapa demikian? Karena dalam periode 5
tahun terakhir terjadi krisis finansial – tahun 2008-2009 terkait
krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di Amerika Serikat yang kemudian berlanjut ke krisis utang di zona Euro. Adanya krisis menimbulkan goncangan (shock) sehingga membuat volatilitas selama periode 3 tahun lebih tinggi dari 1 tahun, dan periode 5 tahun lebih tinggi dari 3 tahun.
Namun, dari data standar deviasi ini kita bisa berbesar hati
karena ternyata meskipun didera volatilitas pasar yang tinggi, ternyata
pasar saham Indonesia masih membukukan imbal hasil yang atraktif. Bahkan
sepanjang tahun 2011, hanya ada 4 indeks saham yang masih membukukan
imbal hasil positif: Dow Jones Industrial Average, S&P 500,
Philippines SE IDX dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Suatu
prestasi yang mengagumkan bukan? Imbal hasil reksa dana saham pun
memberikan imbal hasil yang atraktif, sebagaimana telah dipaparkan dalam
tabel 2.
Kesimpulan
- Investasi di saham dan/atau reksa dana saham sebaiknya dilakukan untuk jangka panjang agar investor dapat memaksimalkan potensi imbal hasil.
- Investasi jangka panjang memungkinkan investor meminimalkan volatilitas imbal hasil.
- Jangan takut dengan volatilitas pasar. Fundamental ekonomi berkontribusi membentuk tren pergerakan indeks, sedangkan sentimen/psikologis investor menciptakan volatilitas atau naik-turunnya indeks dari waktu ke waktu. Gunakan koreksi pasar sebagai kesempatan untuk berinvestasi.Source Portal Reksadana